Minggu, 27 April 2008

TERIMAKASIH AYAHKU TERCINTA

Pagi itu cuaca sangat buruk, hujan yang turun sejak sore kemarin belum juga reda. Air selokan didepan rumah-rumah penduduk mulai meluap kejalan-jalan. Tak seorang pun keluar dari rumahnya. Apalagi guntur terdengar menyeramkan dengan kilatan-kilatan kamera alamnya. Biasanya dalam suasana seperti ini warga lebih memilih berdiam diri dirumah dari pada mengais rizki dengan pergi kesawah.

Warga disini kebanyakan adalah para petani, ada yang Cuma menjadi buruh ada juga yang menjadi tuan tanah. “ bu, bapak pergi dulu kesawah” pamit parman kepada istrinya. Parman adalah petani dengan sepetak tanah warisan dari orang tuanya. “hujan-hujan begini, pak?” kata istrinya yang terlihat mengkhawatirkan suaminya tersebut. “apa tidak sebaiknya hari ini tidak usah kesawah dulu pak?” tini menawarkan pilihan kepada suaminya tersebut. “bu, hujan turun dari kemarin sore. Kalau aku tidak kesawah, aku khawatir dengan padi kita yang sudah mulai menguning” jelas petani yang berperawakan tegap tersebut. “ lagian bagaimana, nasib si anton anak kita, jika kita sampai gagal panen musim ini, dia kan butuh biaya banyak untuk kuliahnya” imbuh parman. Tini pun tidak bisa mencegah suaminya pergi kesawah. Sebagai seorang istri dia hanya bisa menyarankan hal terbaik untuk suaminya.

Parman menembus tirai-tirai hujan dengan cangkul di pundak, sabit ditangan dan caping lebar anyaman bambu menempel di kepalanya. Gleerrrr..lagi-lagi guntur menggema di kampung tersebut. Di area yang lapang biasanya guntur lebih menjadi-jadi, apalagi di desa tersebut separuh lebih adalah area persawahan. Dengan langkah pasti parman berjalan ke sawah yang berjarak satu kilo dari rumahnya tersebut. Sesekali parman menerawang langit berharap hujan segera reda. Tapi harapan adalah harapan hujan terlihat tidak akan reda dengan cepat. Langit masih memangku jutaan liter air yang siap menyirami bumi.

betapa kagetnya parman ketika sampai ditanggul dekat sawahnya. ratusan hektar sawah yang dulunya terlihat menguning oleh padi seketika tidak terlihat lagi. Air hujan telah menyelimutinya, hanya terlihat beberapa pohon randu atau gempol yang menjadi batasan sawah dengan pemilik sertifikat yang berbeda. Parman hanya bisa berdiam diri melihat sawahnya tenggelam. Seketika dia duduk termenung dan terus memandangi ratusan hektar sawah yang lebih mirip dengan danau tersebut. Tubuhnya seakan membeku merenungi kekuasaan Sang Maha Kuasa. Dalam kesendiriannya tersebut parman menyadari betapa kecil dirinya, tanpa disadari air matanya mengalir dan menyatu dengan air hujan. “Tuhanku, maafkan lah aku dengan segala kelalaiannku selama ini, Engkaulah yang Maha Kuasa dengan segala kehendak-Mu” bisik petani tersebut dengan bibirnya yang mulai membiru.” Robbanaa dholamnaa anfusanaa, wa in lam tagfirlanaa wa tarhamnaa lana kuunanna minal khosirin” berkali-kali parman melafadzkan doa tersebut dengan merendahkan dirinya dalam palung kehinaan. Kilat dan guntur seakan menyambut pintu pertaubatan parman, glerr…sebuah kilat persis didepan parman. Dia terlempar tiga meter dari tempatnya semula, parman lemas tak berdaya dan akhirnya ruh telah keluar dari jasadnya. Parman telah meninggal.

Langit menyimpan air, hujan mulai reda, guntur dan kilat sudah tidak terlihat. Di jalanan parman tergeletak dengan muka dan badan bersih sehabis dimandikan oleh air hujan. Selang beberapa waktu seorang petani yang lain datang dan melihat jenazah parman. “tolong…tolong…tolong” teriak petani tersebut ke segala arah. Beberapa orang datang dan segera mengangkat tubuh parman menuju rumah yang berduka. “ bu..bu Tini, suaminya bu…” salah satu warga teriak-teriak di depan pintu rumah Tini. Tini sedang berada di dapur menyiapkan makan siang sang suami. Mendengar teriakan tersebut Tini spontan keluar ke teras dengan perasaan cemas. Melihat suaminya di bopong oleh beberapa warga tubuh Tini lemas. Segenap warga berdatangan kerumah tersebut. Cepat-cepat tubuh parman diletakkan di atas dipan. Seorang tetangga dengan telepon genggam segera menghubungi Anton anak semata wayang Parman dan Tini, yang sedang kuliah dikampusnya.” Ton cepat pulang sekarang, ada kabar tidak enak tentang ayahmu” kata oranng tersebut. “ ada apa kang?” tanya anton resah. “ sudahlah, pokoknya kamu pulang saja dulu kerumah” jawab orang tersebut yang langsung mematikan handphone nya.

Tak berapa lama anton telah datang, dia bingung dengan banyaknya orang yang berkumpul dirumahnya. Dengan langkah pelan pemuda itu menuju pintu rumahnya. Terlihat olehnya sebuah dipan dan membujur jasad bapaknya tersebut. Spontan Anton mengeluarkan air mata “bapak….” Katanya pelan sambil mendekati dipan. “sudahlah nak…ini sudah takdir ilahi…bahwa semua orang pasti mati” redam ustad Fadil kepada anton. “maafkan anakmu ini pak…” ucap anton pelan. “bapakmu pasti memaafkan kamu ton…” kata ustad tadi. Anton hanya bisa menangis mengingat jasa bapaknya terhadapnya dan sikap anton yang selama ini kurang menghargai pengorbanan bapaknya tersebut. “terimakasih atas semuanya pak…” bisiknya disamping jasad ayahnya yang tersenyum tersebut.

Tidak ada komentar: